Mulut Terminal

CERPEN: Mustafa Ismail

SEMUA bermula pada satu sore. Matahari masih menyala. Orang-orang terus mengalir ke terminal itu, tempat bus-bus ukuran besar antar provinsi bahkan antar pulau, datang dan pergi membawa penumpang. Dewi, isteriku, buru-buru ke sana untuk mengejar bis malam untuk pulang kampung, karena mendapat kabar ibunya sakit keras.

![imageedit_1_3605377094.jpg

](url)

Berkali-kali ia memberi aba-aba kepada sopir taksi yang membawanya, agar melaju lebih cepat. Aku sendiri tidak sempat mengantar waktu itu, karena sedang ada tugas di luar kota. Kedua anak kami ditinggal pada neneknya, ibuku, yang kebetulan tinggal berdekatan dengan kami. Ia sangat buru-buru waktu itu, mengejar bus paling cepat.
Turun dari taksi di mulut terminal, sejumlah orang menghampiri. Wajah mereka sangar. Mata mereka melotot. Sebagian memakai seragam dari perusahaan bus tertentu. Mereka segera menghadang. Dewi yang sedang buru-buru, tidak perduli dan terus melangkah. Orang-orang itu mengikuti, sebagian dari belakang dan sebagian di samping kiri-kanan Dewi. Mereka setengah mengamit untuk mengarahkan Dewi ke bus tertentu.
Ada sekitar delapan laki-laki yang mengerumuninya. Beberapa di antaranya langsung menyodorkan tiket yang sudah mereka siapkan. “Ayo Mbak, bis ini segera berangkat.”
“Mau ke mana Mbak?”
Dewi tidak perduli dan terus melangkah, meski terus dihalang-halangi.
“Cantik-cantik kok bisu sih?”
“Ini murah Mbak. Ada AC-nya.”
Omongan mereka beruntun dan saling menindih satu sama lain. Dewi nyaris tidak bisa mendengarnya dengan jelas.
“Nggak, Mas. Saya sudah punya tiket,” katanya sambil terus berjalan menuju loket bis langganannya.
“Mbak bohong. Mana tiketnya kalau sudah ada?”
“Iya, ayo tunjukkan kepada kami.”
“Kalau belum punya jangan bilang sudah punya dong Mbak.”
“Memang Mbak mau naik bis apa?”
Dewi terus berjalan, tanpa berkata satu patah kata pun. Ia berpikir, kalau dilayani, pasti mereka akan ikut terus. Namun orang-orang itu terus memaksa-maksa.
“Ayo Mbak, jangan diam dong. Mau naik bus apa?”
“Hei perempuan jelek, kamu dengar gak sih ditanya?”
“Jangan sok cantik.”
Ia diam saja.
Tiba-tiba, sebuah dorongan kuat menghentaknya dari belakang. Dewi terjatuh. Tas tangan berisi satu stel pakaian dan peralatan wanita terlepas dari pegangannya. Segera saja beberapa orang mengambil tas itu dan membawa lari. “Hai, jangan bawa tasku,” teriak Dewi.
Tak ada yang perduli. Tidak ada yang menolong. Beberapa petugas terminal, berpakaian seragam tertentu, tampak menonton saja dari jauh. Beberapa awak bus terus mengerumuninya. Beberapa di antara mereka menghujatnya.
Dewi tidak tahu harus berbuat apa. Ia berusaha untuk minta tolong, tapi mulutnya seperti tercekat. Perasaan marah, takut, juga sedih bercampur aduk. Ia sempat tertunduk sejenak, lalu kemudian kembali menguasai diri. Ia bangkit dan berdiri.
“Kenapa kalian seperti preman?” Dewi berkata dengan mata melotot menahan marah. Dipandangai mereka satu persatu. Satu persatu. Suasana hening.
“Makanya kalau ditanya ya dijawab dong Mbak. Emang kita apa, kok tidak dihargai.”
“Mbak kira kami takut sama Mbak. Masih untung cuma didorong.”
“Kami di sini cari makan Mbak, jangan didiemin.”
“Orang kaya jangan sombong.”
Bermacam kata-kata sejenis terus meluncur dari mulut mereka, bersahutan, saling menindih.
Dewi menarik nafas sebentar lalu menghembusnya pelan. Ia berusaha menenangkan diri. Matanya kembali memperhatikan satu persatu orang-orang yang mengelilinginya. Ia menyaksikan beberapa senyum sinis di bibir mereka, penuh cibiran. “Kalian betul-betul tak beradab,” kata Dewi dengan mulut bergetar.
Dewi berusaha berjalan, namun sebuah dorongan kembali menghantamnya dari belakang. Beberapa orang lain ikut terjauh dan menindihnya. Ia berteriak minta tolong, tapi suaranya redam oleh kerumunan orang yang makin ramai.
“Ini terminal Mbak, jangan sok-sok hebat.”
“Kalau mau berlagak, sono, di rumah sendiri. Bukan di sini.”
“Kami bisa membikin Mbak tidak bisa pulang.”
“Emangnya Mbak siapa sih? Perempuan sombong.”
Terlalu banyak yang dikatakan oleh orang-orang itu. Tak ada satu pun yang merasa kasihan padanya. “Kalian memang sudah keterlaluan. Sudah sangat keterlaluan,” ucap Dewi dengan terbata-bata. Amarahnya memuncak. Matanya melotot. Wajahnya memerah. Nafasnya naik turun. Tapi ia mencoba diam, tenang. Ia merasa tidak mungkin melawan orang sebanyak itu.
Tiba-tiba, matanya berkunang-kunang. Setelah itu ia tidak ingat apa-apa lagi.
* * *
Dewi menemukan diri tertidur pada sebuah bangku di ruang tunggu. Ia melihat sesekeliling, cahaya lampu menyorot dari berbagai arah. Sudah malam. Ia berusaha bangkit untuk duduk. Seorang perempuan, yang duduk di sampingnya, ikut membantu.
Ia merasa sangat capek dan lemas.
“Mbak tadi pingsan,” kata perempuan itu.
Ia mengangguk, sambil mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi pada dirinya.
“Jam berapa sekarang?” tanyanya.
“Jam delapan malam.”
“Lain kali hati-hati, Mbak. Orang di sini ganas-ganas,” kata perempuan itu.
Dewi cuma mengangguk. Ia tahu, memang begitulah suasana terminal di mana-mana, tidak nyaman. Tapi kejadian yang menimpanya tadi sudah sangat keterlaluan. Itu kejahatan yang tidak bisa terus dibiarkan. Ia yakin banyak orang mengalami nasib serupa sepertinya.
“Iya Mbak. Orang di sini kejam-kejam. Mereka kerja sejak pagi, berpanas-panasan, demi mencari makan. Kalau ada orang yang cuekin, ya pasti kena,” sahut seorang lelaki berpakaian seragam perusahaan bus tertentu yang tiba-tiba sudah berada di sampingnya.
“Tas Mbak, sudah di atas bis. Ayo Mbak, ikut saya,” katanya sambil mengamit Dewi.
Ia bangkit dan ikut saja ke mana lelaki itu pergi. Ia tidak punya kuasa untuk menolak apa yang dikatakan lelaki itu. Tangannya begitu kuat mencengkram lengannya. Ia dibawa naik ke bus yang belum satu pun orang berada di dalamnya.
“Ini tiketnya Mbak, silakan dibayar sekarang.”
Ia duduk dan membuka tasnya yang ditaruh di sampingnya. Ia begitu terkejut melihat dompetnya sudah terbuka. Tidak ada lagi serupiah pun uang di dalamnya. Padahal tadi baru saja mengambil uang dari ATM Rp 500 ribu. Ia tercenung. Tidak tahu harus berbuat apa. Ia mencari-hari telepon genggam, yang juga ditaruh di dalam tas itu. Juga tidak ada.
“Ayo Mbak, segera dibayarkan karcisnya.”
“Saya tidak jadi berangkat. Uang saya hilang,” katanya sambil bangkit berusaha untuk turun dari bus itu. Tapi lelaki itu dengan sigap menghadang. “Mbak, jangan macam-macam ya. Mbak harus membayar tiket ini,” katanya.
“Saya harus bayar pakai apa,” suara Dewi meninggi. Ia tatap lelaki itu, yang memang pernah ia lihat dalam gerombolan yang menghadangnya di mulut terminal tadi sore. “Uang saya hilang. Kamu tahu?”
Ia buru-buru bangkit dan melangkah turun dari bus itu.
* * *
SEJAK kejadian itu, Dewi kerap termenung. Menjadi pendiam. Ia tidak lagi periang, seperti dulu. Ia bukan lagi Dewi yang aku kenal: suka bercanda dan selalu hangat menyambutku. Ia berubah seratus persen. Tak jarang, ia justru menjadi pemarah. Pada saat lain, ia menangis sendiri dan berteriak-teriak dalam kamar: “Bajingan, bangsat! Aku tidak akan tinggal diam.”
Aku langsung bisa menduga bahwa makian-makian itu ditujukan kepada orang-orang yang telah berlaku kasar padanya di terminal tempo hari. Kejadian itu memang begitu membekas baginya. Aku yakin pula perubahan yang terjadi pada Dewi sekarang pastilah karena kejadian itu. Betapa tidak, karena dikerjai dan dikasari, menyebabkan ia terlambat sampai di kampung. Ketika ia datang, ibunya telah meninggal.
Tidak hanya suka marah-marah dan terlihat stress, belakangan ia juga kerap pulang malam. Selalu saja aku lebih duluan sampai di rumah, padahal kantorku lebih dekat dari pada kantor Dewi. Kalau ditanya, Dewi selalu mengatakan: “Pekerjaan kantor menumpuk, mesti lembur.”
“Mengapa lembur bisa hampir tiap malam?”
“Percayalah Mas, aku tidak mungkin mengkhianati Mas. Aku benar-benar ada pekerjaan yang mesti kuselesaikan,” katanya.
Aku tidak menanyakan lagi, sebab bisa-bisa ia makin stres. Aku khawatir dengan kondisi dia. Aku pernah mengajaknya ke psikiater, mungkin itu bisa membuatnya lebih tenang, tapi ia menolak. Aku tidak dapat memaksa.

                                            *     *     *

BELAKANGAN, sekitar tiga minggu setelah kejadian yang menimpa Dewi, terminal itu digegerkan dengan kasus penembakan terhadap seorang calo bus. Ia mati. Sebuah koran memberitakan, lelaki itu dikenal paling galak di terminal itu. Ia berani memukul calon penumpang kalau menolak diajak naik ke bus yang dicalokannya.
Dua hari kemudian, kasus penembakan terjadi lagi di terminal itu. Juga menimpa seorang awak bus, yang kerap memaksa calon penumpang untuk naik ke busnya. Selang satu hari, seorang lagi tertembak. Berselang tiga hari, seorang calo bus kembali tertembak. Dalam dua minggu, delapan orang tertembak di terminal itu.
Koran-koran menjadikannya sebagai berita utama. Pembunuhan itu begitu rapi. Korbannya terpilih, yakni para awak bus di terminal itu, yang memang terkenal sangat galak-galak. Tidak ada seorang pun yang mendengar ada suara tembakan. Tiba-tiba, seseorang sudah roboh bersimbah darah.
Aku sempat menceritakan soal pembunuhan awak bus itu kepada Dewi, tapi ia tak acuh. “Ya, mungkin itu balasan buat orang-orang yang selama ini merasa paling jagoan, bisa memaksa bahkan menganiaya orang. Sekaligus itu pelajaran buat pihak yang mestinya memberi rasa aman kepada penumpang,” katanya santai.
“Aku berterima kasih kepada pembunuh itu. Berarti, sebagian kejahatan telah dimusnahkan,” Dewi melanjutkan.
“Kamu pernah tahu orang-orang yang dibunuh ini,” kataku sambil menunjukkan foto-foto mereka yang dipampang berjejer di halaman depan sebuah koran.
“Enggak,” katanya singkat tanpa menoleh ke foto itu.
“Jadi bukan mereka yang mengerjaimu waktu itu?”
“Enggak tahu ah. Aku sudah lupa.”
Habis berkata begitu, Dewi bangkit dan beranjak. “Aku mau istirahat dulu,” ucapnya.
“Kamu kurang sehat?”
Dewi menggeleng.

                                                     *      *      *

Pelan-pelan, aku menemukan perubahan besar dalam diri Dewi. Pelan-pelan, ia kembali menjadi Dewi yang dulu kukenal, periang dan lincah. Ia tidak lagi pulang malam. Bahkan, belakangan ia tidak lagi bawa mobil, melainkan memintaku untuk menjemputnya. “Aku capek nyetir sendiri terus,” katanya.
“Apa kubilang. Aku sudah menduga, pasti suatu saat kamu akan nyerah. Kamu juga sudah capek marah-marah ya.”
Dewi mengangguk. “Ternyata marah-marah tidak ada gunanya. Bikin stress aja.”
“Berarti kamu sudah melupakan kejadian di terminal itu.”
“Aku tidak bisa melupakan. Tidak mungkin kulupakan bagaimana mereka menginjak harga diriku, harga diri perempuan.”
“Lho, kok marah lagi?”
“Kamu sih yang mancing-mancing.”
“Aku kan bertanya.”
“Sudah ah, aku mau tidur,” katanya, lalu memejamkan mata. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 22.30. Aku juga cepat-cepat tidur, karena besok harus pagi-pagi ke kantor. Kalau kesiangan, bisa terjebak macet berjam-jam di jalanan. Kalau itu terjadi, berarti dua orang yang terlambat, yakni aku dan Dewi.
* * *
Sebulan berlalu, tidak ada lagi berita pembunuhan di terminal itu. Satu sore, dengan mengendarai mobil Dewi---karena waktu itu mobilku sedang di bengkel ----- aku iseng-iseng main ke terminal, dan melihat terminal menjadi sangat teratur. Tidak ada lagi orang-orang bergerombol di mulut terminal menunggu penumpang yang turun dari angkutan kota, taksi atau mobil pribadi. Penumpang membeli tiket di tempat disediakan.
Pembunuhan beruntun terhadap awak di terminal itu betul-betul ampuh menertibkan terminal, pikirku dalam perjalanan pulang. Benar juga kata Dewi, harus berterima kasih pada pembunuh itu. Tapi mengapa pembunuh bisa senekat dan secanggih itu, sehingga sampai sekarang belum tertangkap.
Belum begitu jauh dari terminal, mobil tiba-tiba berjalan oleng. Aku segera memperlambat dan berhenti. Aku memeriksa ban dan menemukan ban belakang sebelah kiri bocor. Sempat terdiam sejenak dan berpikir pasti ada orang yang menyebar paku di daerah di situ. Sebab begitulah yang kerap kutemukan di jalanan, terutama di dekat operasi tukang tambal ban.
Aku membuka bagasi belakang mobil sedan itu untuk mengambil ban cadangan. Ketika ban kutarik, aku melihat sesuatu benda menyembul dari balik karpet bagasi, tersimpan dalam kantong plaktik hitam. Aku mencoba menguak karpet itu, dan membuka kantong plastik kecil itu. Aku terbelalak, ternyata benda itu sepucuk pistol. Aku langsung deg-degan. Buru-buru aku menutup kembali kantong plastik itu dan menaruhnya kembali di bawah karpet bagasi.
Sejenak, aku terdiam. Tercenung. Mengapa ada pistol di mobil Dewi? Tapi buru-buru kutepis pertanyaan itu. Aku berusaha menenangkan diri, menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Aku menahan diri untuk berpikir macam-macam. Aku menahan diri berpikir sesuatu tentang Dewi. Aku khawatir hal itu akan membuatku dicekam ketakutan.
Lalu aku buru-buru mengganti ban yang bocor. Hari makin sore. Matahari makin condong ke barat. Aku harus bergegas ke sebuah tempat yang jauh, sepi dan gelap, untuk membuang pistol itu. Sebelum hal-hal buruk terjadi padaku, terutama pada Dewi. ****

Pamulang, 14 Mei 2005

H2
H3
H4
3 columns
2 columns
1 column
Join the conversation now
Ecency